Tondano, Fajarmanado.com — Ancaman pidana pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terus membayangi guru-guru di tanah air sehingga tidak bisa menunaikan tanggung jawabnya yang hakiki.
Tak heran, para tenaga kependidikan kini cenderung hanya memenuhi kewajiban administrasi dengan terpaksa mengabaikan kewajiban membentuk karakter dan kualitas anak didik.
Kepala Dinas Pendidikan Daerah (Kadis Dikda) Minahasa, Drs. Riviva Maringka tak menafikkan fakta ini.
“Ya, inilah yang menjadi pergumulan sekarang ini,” katanya saat berbincang dengan Fajarmanado.com di Tondano, Selasa (11/6/2019), siang tadi.
Guru diperhadapkan dengan dilema, di satu sisi mengemban tugas mendidik dan menciptakan siswa yang berkualitas, di sisi lain berada dalam bayang-bayang ancaman pidana pelanggaran HAM.
“Sedangkan ada siswa yang hanya dimarahi, dianggap sudah melecehkan. Apalagi kalau sudah disentuh, dengan cemeti,” kata jebolan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Manado ini.
Riviva Maringka membenarkan, ungkapan diujung cemeti ada emas, tidak berlaku lagi di institusi pendidikan pada era reformasi.
Tak jarang guru terpaksa berurusan dengan polisi hanya karena terlanjur mengganjar, apalagi menyakiti anak didik.
Beda dengan tempoe doeloe. Ganjaran yang berbekas pada anggota tubuh siswa tidak sertamerta dilaporkan kepada pihak kepolisian.
Malahan, lanjut dia, kebanyakan anak didik yang mendapat ganjaran di sekolah kala itu rata-rata takut melapor kepada orang tua atau wali sebab tidak akan mendapat pembelaan melainkan hanya dimarahi orang tuanya.
Ia juga sependapat, orang tua di zaman sebelum reformasi meyakini, apabila anaknya mendapat ganjaran di sekolah, berarti telah berbuat kesalahan.
“Tapi sekarang lain, justru ada saja orang yang langsung melapor kepada polisi dan atau ombudsman,” ujar mantan Kadis Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Minahasa.
Menurut Riviva, sesungguhnya tanggung jawab pendidikan tidak hanya berada di pundak guru-guru, tetapi juga orang tua dan stakeholder lainnya sehingga perlu ada sinergitas dari semua pihak.
Sinergitas, lanjutnya, dibutuhkan pula untuk membantu penataan halaman dan taman sekolah karena pemerintah masih menghadapi keterbatasan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan, apalagi untuk prasarana kecuali buku dan bahan ajar.
“Tapi itu harus muncul dari kesadaran bersama orang tua, jangan sampai ada seorang pun yang tidak setuju,” tandasnya.
Semisal pula, lanjut dia, apabila ada keinginan menyajikan makan minum untuk acara kelulusan.
“Harus diinisiasi oleh orang tua sendiri, jangan oleh komite sekolah atau guru sehingga tidak ada kesan pemaksaan,” ujarnya.
Riviva kemudian mencontohkan hajatan kelulusan yang terjadi di salahsatu sekolah di Kecamatan Pineleng. Sesuai kesepakanan, orang tua tiap siswa membawa makan minum masing-masing.
“Ternyata ada satu dua orang tua yang tidak setuju. Mereka melapor kepada Ombudsman, sehingga semua guru akhirnya menandatangani surat pernyataan bahwa itu tidak dipaksakan,” papar Kadis Dikda Riviva Maringka.
Penulis: Herly Umbas