Bencana banjir yang melanda berbagai daerah seharusnya menjadi momen refleksi bagi manusia.
Namun alih-alih belajar dari kerusakan alam yang kita ciptakan sendiri, kita justru kembali menempatkan gajah salah satu satwa paling berharga di bumi sebagai korban.
Keputusan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk memerintahkan gajah jinak membantu membersihkan kayu sisa banjir bukan hanya tidak etis, tetapi juga bentuk nyata kejahatan terhadap alam dan kemanusiaan.
Artikel ini mengupas sisi moral, ekologis, dan kemanusiaan dari tragedi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sebuah opini yang didasarkan pada empati dan keprihatinan mendalam terhadap nasib gajah Indonesia.
Gajah: Korban yang Terus Dipaksa Mengabdi
Gajah tidak pernah meminta hidup berdampingan dengan manusia.
Mereka tidak pernah menawarkan diri untuk menjadi tenaga pembersih banjir.
Tetapi kenyataan pahitnya, setelah manusia menghancurkan rumah mereka hutan yang dulu luas dan kaya hewan-hewan megah ini kembali dipaksa menanggung beban yang bukan milik mereka.
Habitat mereka digunduli. Ruang hidup mereka dipersempit. Anak-anak mereka diracun karena dianggap hama.
Lalu ketika banjir datang akibat kerusakan lingkungan yang ulahnya juga manusia kita memanggil gajah untuk membantu membersihkan kayu-kayu besar seolah mereka adalah alat berat.
Inilah ironi paling kelam dalam sejarah hubungan manusia dan alam: korban dipaksa menjadi pekerja.
Eksploitasi yang Dibungkus Alasan “Pemanfaatan”
BKSDA seharusnya menjadi benteng perlindungan satwa liar. Namun keputusan menggunakan gajah untuk bekerja pascabencana menunjukkan bahwa paradigma konservasi kita masih bertumpu pada kata “manfaat”, bukan “perlindungan”.
Tidak banyak yang bertanya:
- Apakah gajah itu sedang sehat?
- Apakah mereka mengalami stres atau trauma?
- Berapa lama mereka harus bekerja?
- Siapa yang memastikan keselamatan mereka?
Sebaliknya, publik diberi narasi heroik: seolah gajah “senang” membantu manusia.
Padahal, bagi pecinta alam dan pemerhati satwa, narasi semacam itu berbahaya karena menghapuskan realitas penderitaan makhluk hidup yang sebenarnya.
Tanda-Tanda Fraktur dalam Hubungan Manusia dan Alam
Banjir bukan sekadar bencana musiman. Ia adalah pesan alam bahwa batas telah dilampaui:
- Hutan ditebang tanpa kendali
- Sungai dipersempit
- Tanah kehilangan kemampuan menyerap air
Semua ini menyumbang pada banjir, tetapi ketika bencana datang, manusia justru menyuruh gajah memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh keputusan-keputusan manusia sendiri.
Ini bukan konservasi.
Ini bukan kolaborasi.
Ini perpanjangan dari kekerasan ekologis yang selama puluhan tahun kita normalisasi.
Apa Salah Gajah?
Coba bayangkan sejenak:
Seekor induk gajah kehilangan anaknya yang diracun agar kebun sawit aman. Ia terpaksa hidup di kawasan yang makin sempit. Ketika alam rusak dan banjir tiba, ia harus menarik kayu-kayu besar untuk membantu manusia yang selama ini merusaknya.
Jika makhluk seanggun itu bisa berbicara, barangkali ia hanya akan bertanya:
“Apa salah kami?”
Pertanyaan sederhana, namun menghantam jantung nurani.
Saatnya Mengembalikan Martabat Satwa
Dalam era krisis iklim, hubungan manusia dan alam harus berubah. Penggunaan gajah sebagai “alat berat hidup” hanya memperlihatkan betapa jauh kita tertinggal dalam memahami etika ekologis.
Jika pemerintah benar-benar ingin memperbaiki hubungan manusia-alam, langkah pertama adalah:
- Berhenti menjadikan satwa liar sebagai pekerja.
- Perkuat rehabilitasi habitat, bukan eksploitasi tenaga.
- Gunakan teknologi dan alat berat, bukan tubuh gajah untuk menarik kayu.
Gajah bukan budak.
Bukan alat.
Mereka makhluk hidup dengan rasa takut, lelah, dan sakit.
Bencana Seharusnya Membuka Mata, Bukan Menutup Hati
Gajah telah kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan karena ulah manusia. Ketika bencana alam terjadi, mereka tidak seharusnya ikut menanggung beban yang bukan salah mereka.
Jika kita memaksa gajah membantu membersihkan sisa banjir, maka sesungguhnya yang rusak bukan hanya ekosistem tetapi juga hati kita sebagai manusia.
Saatnya berhenti.
Saatnya memperbaiki.
Saatnya memulihkan martabat alam yang selama ini kita rendahkan.
Karena di setiap mata gajah yang lelah, ada pesan penting yang tidak boleh kita abaikan:
Alam bukan musuh. Alam adalah rumah. Dan kita telah terlalu lama menjadi perusaknya.
