Demokrasi Indonesia Berasal Dari Minahasa

Tondano, Fajaramando.com – Setelah mendalami sejarah dan perkembangan demokrasi di Minahasa, Ternyata peran Minahasa dalam demokrasi di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena Minahasa adalah pioner demokrasi di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Sahabat Pemilu (KPPSP) Kabupaten Minahasa Lefrando Gosal. “Sejarah pemilihan langsung di Indonesia pertama kali dilaksanakan di Minahasa,” ujar Gosal saat diskusi tentang topik Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Minahasa dan Indonesia yang dilangsungkan di Kelurahan Wawalintowan Kecamatan Tondano Barat, Rabu (5/4) tadi.

Dalam diskusi yang jug melibatkan komunitas Mawale Cultural Centre dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Sulawesi Utara (AMAN SULUT) tersebut, Gosal mengatakan kalau diskusi tersebut adalah kegiatan rutin untuk meningkatan dan menghasikan rekomendasi-rekomendasi sebagai sumbangsi dalam peningkatan kualitas pemilu di Indonesia secara khusus di Minahasa.

“Diskusi Komunitas ini dilakukan secara rutin untuk membahas segala hal tentang Pemilu. Selain saling berbagi pengetahuan, diskusi ini juga menghasilkan rumusan-rumusan sebagai sumbangsi bagi penyelenggara pemilu dan masyarakat,” jelasnya.

Diskusi yang berlangsung lebih dari tiga jam tersebut, diawali dengan pra wacana oleh Dr Ivan Kaunang MHum yang membahas tentang budaya demokrasi hari ini, bagaimana sebelumnya?. Dilanjutkan oleh Rikson Karundeng M.Teol tentang ‘demokrasi’ di Minahasa, dari Tiwa Lumimuut-Toar, amanat Watu Pinawetengan hingga modernisasi Wensel. Kemudian Denni Pinontoan MTeol tentang pemimpin dan kepemimpinan pada masyarakat Minahasa tempo dulu. Prawacana diakhiri oleh Meidy Y Tinangon MSi selaku ketua KPU Minahasa yang mebahas tentang sketsa awal sejarah demokrasi elektoral di Tanah Minahasa.

Menurut Kaunang, demokrasi adalah suatu proses menuju pada suatu kesepakatan, suatu kesediaan untuk menerima perbedaan pendapat dalam upaya seminimal mungkin satu pendapat untuk kepentingan bersama. “Kita tidak hanya mewarisi satu atau dua tradisi kaitannya dengan tradisi politik di indonesia. Dimulai dari Budi Utomo 1908, zaman kebangkitan nasional yang melahirkan ekologi budaya di Indonesia dengan kekuasaan feodal dan kekuasaan colonial,” ujar Kaunang yang juga sebagai ketua Dewan Pakar AMAN SULUT.

Kemudian Rikson Karundeng dalam pemaparannya menjelaskan kalau demokrasi sendiri tidak ada dalam kamus masyarakat Minahasa purba. “Jika demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi dalam bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, konsep demokrasi itu bisa ditemukan di Minahasa. Egaliter yang terkandung dalam prinsip demokrasi jelas merupakan salah satu nilai budaya yang melekat pada masyarakat Minahasa,” ujar pegiat budaya di Mawale Cultural Center ini.

Menurutnya nilai-nilai dalam peradaban Minahasa, mulai dari Tu’ur In Tana, Musyawarah Watu Pinawetengan hingga penentuan pemimpin di masing-masing wanua dan roong menunjukan demokrasi yang ideal sudah sejak dahulu di praktekan di Minahasa. Namun, Karundeng menegaskan kalau hancurnya nilai-nilai tersebut dikarenakan politisasi dan hegemoni di masa kolonialisme Belanda.

Dijelaskannya, Penghancuran itu sejak tahun 1825, di masa itu, Residen J Wensel mengeluarkan sebuah program yang disebut dengan ‘pemerintahan modern’. Dua sasaran utama Wensel dalam program itu adalah Instelling in the Minahasa (instelling in der Minahasa Raad) yaitu rencana perubahan susunan keanggotaan Dewan Minahasa dan penataan susuanan pemerintahan desa.

Kemudian dalam pemaparan Pinontoan, dibahas tentang pemimpin masyarakat Minahasa dahulu yakni Walian : pemimpin agama/ adat, Tonaas : orang keras, yang ahli di bidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak, Teterusan : panglima perang, Potuasan : penasehat. “Dari sejumlah dokumentasi tertulis di masa kolonial, disebutkan bahwa masyarakat Minahasa tempo dulu, dalam proses pemilihan dan penentuan pemimpin dilakukan dengan melibatkan partisipasi semua anggota komunitas,” ujar Pinontoan.

Pinontoan menegaskan kalau pemimpin dan kepemimpinan di Minahasa dari tingkat taranak, wanua/ roong, walak dan pakasaan adalah sakral. Melalui proses peneguhan dalam ritual. “Dalam proses penentuan melibatkan intervensi yang sakral,” tegas Pinontoan.

(fis)