Politik Uang Meninggi Tiga Pekan Jelang Pilkada

Jakarta, fajarmanado.com — Pencatatan penerimaan serta pengeluaran dana kampanye dan sumbangan beberapa pasangan calon kepala daerah tidak menunjukan arus kas yang sesungguhnya. Politik transaksional atau prolitik uang diperkirakan meninggi menjelang 9 Desember 2015 mendatang diperkirakan akan meningkat. 

Koordinator Nasional untuk Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Masykurudin Hafidz, mengatakan mayoritas Laporan Dana Awal Kampanye peserta pilkada yang tidak realistis seharusnya membuat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meningkatkan kewaspadaan.

Masykurudin memprediksi, jelang pemungutan suara, perputaran uang di daerah akan meningkat akibat politik transaksional. “Uang yang beredar akan semakin besar karena potensi transksi yang besar,” ujarnya di Jakarta, Ahad (22/11).

Tidak hanya melalui transaksi antarbank, Masykurudin berkata, berkaca pada sejumlah peristiwa pada pemilihan legislatif tahun 2014, peredaran uang juga berlangsung dengan cara-cara konvensional.

Dia mencontohkan, sebelum pemungutan suara pileg 9 April 2014, polisi memberhentikan sebuah mobil asal Surabaya, Jawa Timur, yang hendak masuk ke Bandung, Jawa Barat. Polisi menemukan uang dalam nominal yang tidak sedikit, yang diduga akan dibagikan pada para pemilih.

Masykurdin mendorong Bawaslu untuk meningkatkan pengawasan terhadap politik transaksional para peserta pilkada. Ia menilai, koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendesak dilakukan.

Menurut Masykurudin, PPATK yang berwenang melihat transaksi keuangan pada rekening para peserta pilkada dapat memberikan peringatan dini kepada penyelenggara dan pengawas pemilu.

“Strategi Bawaslu untuk menghadapi politik transaksional seperti ini masih di permukaan. Mereka hanya mengintensifkan pencegahan dengan membangun komitmen pada paslon dan lembaga pemangku kepentingan,” tuturnya.

Analisis Daerah Pelaksana Pilkada

Baru-baru ini, JPPR menganalisis LDAK milik para pasangan calon (paslon) di empat kabupaten dan lima kota yang mengikuti pilkada serentak.

Empat kabupaten itu adalah Maros, Sulawesi Selatan; Jember, Jawa Timur; Seluma, Bengkulu dan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sedangkan lima kota yang diteliti adalah yaitu Tangerang Selatan, Banten; Depok, Jawa Barat; Semarang, Jawa Tengah; Palu, Sulawesi Tengah dan Balikpapan, Kalimantan Timur.

Hasil penelitian JPPR memperlihatkan, banyak peserta pilkada tidak taat terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2015. JPPR menemukan, mayoritas paslon tidak menggunakan rekening khusus sebagai pusat arus keuangan.

Masykurudin berkata, banyak paslon menempatkan dana secara fisik dan melakukan pencatatat keuangan secara manual.

Ketentuan batas sumbangan, baik oleh perseorangan maupun badan hukum, juga masih kerap dilanggar. Di Balikpapan misalnya, JPPR menemukan satu paslon yang mendapatkan sumbangan lebih dari Rp500 juta dari sebuah perusahaan. Modusnya, sumbangan disalurkan melalui anak perusahaan.

“Praktik memecah sumbangan dilakukan agar tidak melanggar batas ketentuan,” ujar Masykurudin.

Selain itu, ada juga temuan pelanggaran terkait batas harga bahan kampanye. Tidak hanya melebihi batas yang ditentukan Rp25 ribu, JPPR mencatat tidak sedikit paslon juga memberikan alokasi transportasi dan konsumsi bagi para peserta kampanye.

“Sebagian masyarakat masih menginginkan adanya politk uang. Di sisi lain, paslon juga masih mempengaruhi pemilih dengan uang,” ucap Masykurudin.

(cnni/heru)